thanks for visiting my site

Rabu, November 12, 2008

Bung Tomo, Pekik "Merdeka atau Mati"

"Saudara-saudara rakyat Surabaya.

Bersiaplah! Keadaan genting.
Tetapi saya peringatkan sekali lagi.
Jangan mulai menembak.
Baru kalau kita ditembak.
Maka kita akan ganti menyerang mereka itu.
Kita tunjukkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap.
Merdeka atau mati.
Dan kita yakin, Saudara-saudara.
Akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita.
Allah selalu berada di pihak yang benar.
Saudara-saudara!Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka!

Kalimat diatas merupakan isi pidato dari Sutomo, lebih dikenal dengan Bung Tomo. Pidato yang di ucapkan penuh semangat dan berapi-api tersebut, terbukti mampu membangkitkan semangat rakyat Surabaya dalam melawan penjajah Belanda melalaui tentara NICA-nya. Perlawanan gigih pada 10 November 1945 tersebut kemudian di peringati sebagai Hari Pahlawan.

Siapa sebenarnya Sutomo?

Masa Muda

Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya, 3 Oktober 1920. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Sementara ibunya adalah wanita berperangai lembut yang berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda dan Madura.

Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Bicaranya lantang, terus terang dan penuh semangat. Sutomo muda dikenal sebagai seorang pekerja keras. Ia tak pernah sungkan melakukan berbagai pekerjaan selagi ia mampu.

Pendidikan awal ditempuhnya di Sekolah Rakyat (SR), kemudian MULO, dan terakhir di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

"Saat kuliah Bung Tomo sempat berhenti beberapa kali karena terlibat gerakan perjuangan. Ia masuk tahun 1957 dan menyelesaikannya pada 1969," kata pengamat sejarah Syafaruddin SPd, SH.

Sutomo kemudian bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Prestasinya di organisasi ini sangat baik. Pada usia 17 tahun, ia menjadi populer ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.

Sutomo pernah pula bekerja sebagai wartawan. Ketika empat tokoh yaitu Soemanang, AM Sipahoetar, Adam Malik dan Pandu Kartawiguna mendirikan Kantor Berita Antara, Sutomo menjadi wartawan ANTARA di Surabaya, selain juga bekerja untuk Asia Shimbun.

Ia kemudian bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal Sutomo. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting satu tahun berikutnya.

Iman dan Perjuangan yang Teguh

Saat itu, situasi politik di tanah air tidak menentu. Belanda mencoba “comeback” menjajah Indonesia lewat tentara NICA. Sikap pemerintah yang terkesan lambat dan lebih banyak memilih jalur diplomasi, membuat Sutomo bersama para pejuang lain mendirikan Barisan Perjuangan Rakyat Indonesia (BPRI) pada tanggal 12 Oktober 1945. Tujuannya hanya satu, mempertahankan kemerdekaan negara kita yang baru berusia beberapa bulan.

Sutomo dalam setiap kesempatan senantiasa menekankan kepada anggota kelompok pejuang ini agar dekat kepada Allah Yang Maha Esa. Bagi Sutomo, keimanan adalah landasan berjuang yang maha penting. Contoh berikut ini adalah bukti bila keimanan yang kokoh akan berbuah manfaat. Dalam sebuah perjalan gerilya pada Oktober 1945, Sutomo dan para pejuang telah terkepung dengan pesawat-pesawat tempur Belanda.

Dengan kecemasan yang tinggi seorang rekan Bung Tomo meminta untuk mundur dan mencari pepohonan yang rindang, sedangkan pepohonan itu hanya ada di posisi yang jauh. Maka Bung Tomo berusaha menenangkan mereka

"Tenanglah, pertolongan Allah akan datang, kita telah merelakan diri kita untuk negara dan Agama ini. Merdeka atau Mati Syahid. Allaahu Akbar!!".

Slogan perjuangan sekaligus keimanan yang selalu digemakan Sutomo ini terbukti efektif. Luluh-lah rasa takut pada diri para pejuang mendengar semangat dan keihlasan Sutomo memohon perlindungan kepada Rabb-nya.

Apa yang terjadi? Sesaat setelah mengucapkan kata-kata tersebut, gumpalan awan hitam menutupi Sutomo dan rekan seperjuangan sehingga pesawat terhalang pandangannya kebawah dan akhirnya meninggalkan tempat tersebut tanpa memuntahkan amunisinya.

Pecahnya peristiwa 10 November 1945 dipicu oleh ultimatum Tentara Sekutu yang di keluarkan Mayor Jenderal Mansergh, pengganti Brigadir Jenderal Mallaby yang terbunuh dalam sebuah kontak bersenjata. Isi ultimatum menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan diatas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945. Bagi para pejuang dan rakyat, pernyataan ini merupakan penghinaan. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk. Karena itu terjadilah pertempuran.

Disinilah peran Bung Tomo sangat kentara. Pekik “Merdeka Atau Mati” yang diucapkannya mampu membakar semangat sehingga seluruh pemuda di Surabaya bangkit melakukan perlawanan. Peristiwa bersejarah itu bermula dari perobekan warna biru pada bendera Belanda di Hotel Yamato atau Hotel Orange (sekarang Hotel Majapahit) di Surabaya pada 27 September 1945.

"Seluruhnya itu benar-benar seluruhnya, termasuk para pemuda dari berbagai daerah yang saat itu tinggal di kota Surabaya, juga para ’bondo nekat’, maling, begal, perampok dan sebagainya. Bung Tomo mampu membangkitkan nasionalisme mereka," kata Syafaruddin.

Ia juga mengatakan, kepahlawanan Bung Tomo antara lain ditulis oleh Ktut Tantri dalam dua bukunya, masing-masing berjudul "The New Paradise" (1957) dan "Revolusi di Nusa Damai" (Gramedia, 1982).

Ktut Tantri adalah wanita Amerika Serikat keturunan Inggris yang datang ke Bali untuk belajar melukis. Belakangan ia diangkat anak oleh Raja Bali dan diberi nama Indonesia.

Dalam sejarah perjuangan, Bung Tomo termasuk lima pendiri Tentara Keamanan Rakyat. Empat pendiri lainnya adalah Jenderal Sudirman, Jenderal Urip Sumoharjo, Laksamana Laut Natzir, dan Mayor Sungkono.

Setelah Kemerdekaan

Selepas masa perjuangan, Bung Tomo menjalani karier militer dan politik. Bung Tomo pernah diangkat menjadi mayor jenderal dan menempati pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama Jenderal Soedirman.

Dia bertugas sebagai Koordinator Bidang Intelijen dan Perlengkapan Perang untuk Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut. Ketika diminta memilih untuk terus berpidato atau menjadi jenderal oleh Menteri Pertahanan Amir Syarifudin, Bung Tomo justru memilih menanggalkan pangkat jenderalnya. "Persetan, ora dadi jenderal ya ora pateken," ujarnya dalam logat Surabaya seperti tertulis dalam buku Sulistina Sutomo, Bung Tomo Suamiku, Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu, Visimedia, 2008 (Cetakan II).

Selain sebagai Koordinator Bidang Intelijen dan Perlengkapan Perang, Bung Tomo juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/ Veteran/Menteri Sosial Ad Interim (1955-1956), anggota DPR (1956-1959), Ketua II Mabes Legium Veteran, dan pendiri Partai Rakyat. Berkat jasa-jasanya, Bung Tomo dianugerahi Satya Lencana Kemerdekaan dan Bintang Gerilya.

Meski kiprah politiknya tak berlangsung lama, Bung Tomo dikenal sebagai sosok yang tak kenal takut kepada siapa pun, termasuk penguasa. Kiprah Bung Tomo sendiri di kancah politik bukan sebagai representasi ambisi kekuasaan, tetapi lebih pada bentuk lain pengabdian bagi bangsa dan negara.

Dapat Gelar Pahlawan Nasional

Bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta. Selain Bung Tomo, gelar serupa juga diberikan kepada Mohammad Natsir dan KH Abdul Halim.

Persoalan gelar pahlawan nasional untuk Bung Tomo memang sempat mencuat sebagai kontroversi. Maklum, sejak 1982--setahun setelah wafatnya--, masyarakat Jawa Timur mengajukan permohonan agar nama Bung Tomo dimasukkan dalam daftar pahlawan nasional. Namun, pemerintah saat itu dengan sejuta dalih menolaknya. Setelah 26 tahun berlalu, lewat Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008 pada 6 November lalu, gelar itu pun diberikan.

Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Taufik Abdullah bisa memaklumi mengapa proses penentuan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo butuh waktu lama. Sebab, di Indonesia gelar pahlawan nasional masuk dalam ranah hukum yang harus mengikuti perundang-undangan yang berlaku lewat sebuah proses panjang. Diawali dari pengajuan daerah asal, kemudian harus diikuti oleh seminar yang membahas tokoh yang bersangkutan.

Di samping itu, harus ada buku yang ditulis secara ilmiah yang mengungkap peran kepahlawanan sang tokoh sebelum akhirnya ditetapkan dalam surat keputusan presiden.

Setidaknya, untuk menyandang gelar pahlawan nasional, seseorang harus "bersentuhan" dengan sejumlah sumber hukum, di antaranya UU No 33 Prps Tahun 1964 tentang Penetapan Penghargaan dan Pembinaan terhadap Pahlawan, UU No 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, PP No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom,PP No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.

Pada masa Orde Lama, gelar pahlawan bisa langsung melekat kepada sang tokoh ketika ditetapkan Presiden Soekarno. Ketika dianggap layak0 mendapat gelar pahlawan, gelar itu langsung melekat kepada tokoh yang bersangkutan. Berbeda halnya dengan masa Orde Baru, mereka memberlakukan kebijakan lebih ketat.

Menanggapi kasus Bung Tomo, Taufik menilai sisi lain kehidupan Bung Tomo yang berkiprah di dunia politik menjadi salah satu persoalan mengapa gelar kepahlawanan lama diberikan. Maklum, Bung Tomo dikenal sebagai sosok yang juga pernah berseberangan secara politis dengan penguasa Orde Lama dan Orde Baru. Terbukti, Bung Tomo pernah dipenjara beberapa tahun terkait keterlibatannya di peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari).

"Mungkin karena itulah kenapa sosok Bung Tomo dilupakan," ujar Taufik.

Selama ini, keluarga besar Bung Tomo juga tidak pernah mempermasalahkan gelar tersebut. Bagi sebagian orang, gelar pahlawan nasional bisa menjadi sesuatu yang berprestise, tetapi tidak bagi Bung Tomo. Dia menginginkan dirinya menjadi pahlawan rakyat, sebagaimana yang dituliskan sang istri: "Biar rakyat yang menilai kepahlawananmu."

Riwayat Bung Tomo berakhir ketika ia meninggal dunia di Padang Arafah dan dikuburkan di Wadi, Madinah, Arab Saudi, Pada 7 Oktober 1981. Dua tahun kemudian makamnya dibongkar dan tulang-tulangnya dibawa pulang untuk dimakamkan kembali di tanah kelahirannya. Bung Tomo tidak dimakamkan di Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya. Bagi Bung Tomo, seorang pejuang harus dekat dengan rakyat dan matinya pun harus bersama rakyat jelata. (yat/disarikan dari berbagai sumber)


1 komentar:

BELAJAR BAHASA mengatakan...

Bung Tomo adalah seorang motivator ulung era perang kemerdekaan