Partai Keadilan Sejahtera (PKS), beberapa hari terakhir menuai kecaman dan gugatan dari beberapa elemen masyarakat. Antara lain dari organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Hal ini terkait dengan penayangan iklan partai bernomor urut 8 itu di beberapa stasiun televisi.
Dalam iklan tersebut, PKS memasang foto para tokoh nasional seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Soetomo serta Jenderal Besar Sudirman. Celakanya, PKS juga menayangkan gambar mantan Presiden Indonesia yang pernah berkuasa selama 32 tahun, Soeharto. Inilah yang menjadi pangkal timbulnya kritik dan gugatan.
Terlepas dari jasa-jasa yang pernah ditorehkannya kepada bangsa ini, Soeharto masih tetap dianggap sebagai tokoh yang paling bertanggungjawab terhadap segala kejahatan kemanusiaan kepada anak bangsa ini. Karena itu, mensejajarkan Soeharto dengan tokoh-tokoh tersebut jelas merupakan sebuah tindakan yang kurang tepat.
"Pemuatan tersebut jelas-jelas pure bermuatan kepentingan politik jangka pendek PKS dan merugikan persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan budaya, sosial, dan keagamaan," demikian dalam siaran resmi PP Pemuda Muhammadiyah yang di tandatangani ketuanya Armyn Gultom, seperti yang dikutip dari Detik.com, Jumat (31/10/2008).
Sebelumnya, kecaman juga muncul dari Gerakan Pemuda Nahdhatul Ulama. Mereka tidak ingin pendiri mereka Hasyim Asy’ari disamakan dengan Soeharto. Kedua ormas terbesar di tanah air ini juga menuntut PKS agar segera menarik iklan tersebut dari televisi secepatnya.
Bagian dari Kampanye Politik
Setelah sempat berdalih alasan penayangan iklan tersebut untuk rekonsiliasi bangsa, akhirnya PKS mengakui bahwa iklan tersebut bertujuan meraih simpati massa sebanyak-banyaknya guna menghadapi Pemilu 2009 mendatang.
Hal itu dikatakan Sekjen PKS Anis Matta dalam diskusi Radio Trijaya, "Parpol Krisis Tokoh", Sabtu (15/11), di Jakarta.
Digunakannya gambar tokoh-tokoh itu, diakui Anis, tak meminta izin kepada keluarga ataupun kelompok-kelompok yang mengklaim 'memiliki' mereka.
"Memang enggak izin, karena itu domain publik. Kita tidak mengingkari (iklan) ini bagian dari kampanye politik untuk meraih dukungan. Kalau partai lain menjual tokoh, kami menjual ide," kata Anis.
Dampak
Menjelang pemilihan umum 2009, partai-partai politik di tanah air memang melakukan berbagai strategi guna meraup simpati dan dukungan massa sebanyak-banyaknya. Partai tak ubahnya menjadi counter hp yang memasarkan barang dagangannya dengan kemasan sedemikian rupa agar konsumen tertarik membeli. Walaupun, cara ini harus ditebus dengan harga mahal. Seperti yang dilakukan PKS.
Menurut penulis, dalam konteks politik, iklan rekonsiliasi ini dapat memberikan akibat wajar (konsekuensi logis) yang negatif bagi PKS. Alih-alih mendapat simpati, justru keberadaan iklan ini-apabila tidak segera ditarik dari peredaran-akan berdampak pada turunnya simpati pada partai berlambang bulan sabit dan bintang ini. Apalagi, bila kita setback, PKS justru lahir dari gerakan anti Soeharto pada masa reformasi digulirkan.
Cita-cita PKS yang berplatform religius sedikit banyaknya akan “terusik” karena ternyata PKS juga menokohkan Soeharto sebagai tokoh bangsa. Simpati kepada PKS juga tidak akan datang dari keluarga para korban tindak kekerasan dan pelanggaran HAM semasa Soeharto menjabat. Apalagi, sampai hari ini penyelesaian kasus kemanusiaan tersebut belum memuaskan. Belum lagi persoalan korupsi dengan Soeharto dan kroni-kroninya sebagai pelaku utama.
Pelajaran Berharga
Sejatinya, peristiwa ini merupakan pelajaran berharga bagi PKS, terutama para elitenya yang selama ini memakai sistem terpusat, agar lebih selektif lagi dalam meramu strategi pemasaran (baca : pencitraan) politik partainya.
Masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk meraih simpati pemilih. Apalagi PKS selama ini dikenal sebagai partai yang bersih dan tak pernah terlibat dalam skenario “melukai perasaan publik “ seperti melakukan tindak kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Yang harus dilakukan oleh PKS adalah konsisten dengan khittah perjuangannya dan tak pernah berhenti memberdayakan umat. Simpati, dukungan, bahkan pilihan akan datang dengan sendirinya bila PKS tetap istiqomah dengan kedua hal ini. Tapi, tentu saja, selagi kedua hal ini diramu dengan strategi yang selektif.
Read more.....
Dalam iklan tersebut, PKS memasang foto para tokoh nasional seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Soetomo serta Jenderal Besar Sudirman. Celakanya, PKS juga menayangkan gambar mantan Presiden Indonesia yang pernah berkuasa selama 32 tahun, Soeharto. Inilah yang menjadi pangkal timbulnya kritik dan gugatan.
Terlepas dari jasa-jasa yang pernah ditorehkannya kepada bangsa ini, Soeharto masih tetap dianggap sebagai tokoh yang paling bertanggungjawab terhadap segala kejahatan kemanusiaan kepada anak bangsa ini. Karena itu, mensejajarkan Soeharto dengan tokoh-tokoh tersebut jelas merupakan sebuah tindakan yang kurang tepat.
"Pemuatan tersebut jelas-jelas pure bermuatan kepentingan politik jangka pendek PKS dan merugikan persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan budaya, sosial, dan keagamaan," demikian dalam siaran resmi PP Pemuda Muhammadiyah yang di tandatangani ketuanya Armyn Gultom, seperti yang dikutip dari Detik.com, Jumat (31/10/2008).
Sebelumnya, kecaman juga muncul dari Gerakan Pemuda Nahdhatul Ulama. Mereka tidak ingin pendiri mereka Hasyim Asy’ari disamakan dengan Soeharto. Kedua ormas terbesar di tanah air ini juga menuntut PKS agar segera menarik iklan tersebut dari televisi secepatnya.
Bagian dari Kampanye Politik
Setelah sempat berdalih alasan penayangan iklan tersebut untuk rekonsiliasi bangsa, akhirnya PKS mengakui bahwa iklan tersebut bertujuan meraih simpati massa sebanyak-banyaknya guna menghadapi Pemilu 2009 mendatang.
Hal itu dikatakan Sekjen PKS Anis Matta dalam diskusi Radio Trijaya, "Parpol Krisis Tokoh", Sabtu (15/11), di Jakarta.
Digunakannya gambar tokoh-tokoh itu, diakui Anis, tak meminta izin kepada keluarga ataupun kelompok-kelompok yang mengklaim 'memiliki' mereka.
"Memang enggak izin, karena itu domain publik. Kita tidak mengingkari (iklan) ini bagian dari kampanye politik untuk meraih dukungan. Kalau partai lain menjual tokoh, kami menjual ide," kata Anis.
Dampak
Menjelang pemilihan umum 2009, partai-partai politik di tanah air memang melakukan berbagai strategi guna meraup simpati dan dukungan massa sebanyak-banyaknya. Partai tak ubahnya menjadi counter hp yang memasarkan barang dagangannya dengan kemasan sedemikian rupa agar konsumen tertarik membeli. Walaupun, cara ini harus ditebus dengan harga mahal. Seperti yang dilakukan PKS.
Menurut penulis, dalam konteks politik, iklan rekonsiliasi ini dapat memberikan akibat wajar (konsekuensi logis) yang negatif bagi PKS. Alih-alih mendapat simpati, justru keberadaan iklan ini-apabila tidak segera ditarik dari peredaran-akan berdampak pada turunnya simpati pada partai berlambang bulan sabit dan bintang ini. Apalagi, bila kita setback, PKS justru lahir dari gerakan anti Soeharto pada masa reformasi digulirkan.
Cita-cita PKS yang berplatform religius sedikit banyaknya akan “terusik” karena ternyata PKS juga menokohkan Soeharto sebagai tokoh bangsa. Simpati kepada PKS juga tidak akan datang dari keluarga para korban tindak kekerasan dan pelanggaran HAM semasa Soeharto menjabat. Apalagi, sampai hari ini penyelesaian kasus kemanusiaan tersebut belum memuaskan. Belum lagi persoalan korupsi dengan Soeharto dan kroni-kroninya sebagai pelaku utama.
Pelajaran Berharga
Sejatinya, peristiwa ini merupakan pelajaran berharga bagi PKS, terutama para elitenya yang selama ini memakai sistem terpusat, agar lebih selektif lagi dalam meramu strategi pemasaran (baca : pencitraan) politik partainya.
Masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk meraih simpati pemilih. Apalagi PKS selama ini dikenal sebagai partai yang bersih dan tak pernah terlibat dalam skenario “melukai perasaan publik “ seperti melakukan tindak kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Yang harus dilakukan oleh PKS adalah konsisten dengan khittah perjuangannya dan tak pernah berhenti memberdayakan umat. Simpati, dukungan, bahkan pilihan akan datang dengan sendirinya bila PKS tetap istiqomah dengan kedua hal ini. Tapi, tentu saja, selagi kedua hal ini diramu dengan strategi yang selektif.