
Di sisi lain, sosialisasi yang dilakukan pun terlampau singkat, sehingga membuat masyarakat kurang siap dan kewalahan.
Menurut Ketua DPD II Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Sumbagsel Djunaidi Ramli, setidaknya dibutuhkan sosialisasi empat hingga lima tahun sebelum suatu program yang berlaku nasional dijalankan.
“Ini agar masyarakat yang menjadi sasaran program tersebut benar-benar paham dan mengerti maksud dan tujuan yang hendak dicapai. Selain itu, waktu sosialisasi di perlukan agar leading sector program berbenah dan menyiapkan sarana dan prasarana pendukung sehingga ketika program dijalankan tidak ada lagi kendala yang menghadang,” bebernya.
Menurut Djunaidi, singkatnya persiapan konversi ini membuat Pertamina selaku pihak pelaksana kesulitan mendapatkan tabung gas elpiji 3 kg. Ketidakmampuan para produsen dalam negeri memproduksi tabung seperti yang diminta Pertamina sehingga tabung ini harus didatangkan dari luar negeri alias mengimpor, kian memperpanjang daftar ketidaksiapan pemerintah terhadap program ini. Padahal, secara kualitas tabung gas impor tersebut masih diragukan.
Komentar lebih pedas datang dari Ketua Umum Migas Watch Sumsel Firdaus Bustomi. Menurut dia, program pemerintah ini justru menyengsarakan dan bukan menyejahterakan masyarakat.
“Masyarakat menggunakan gas karena minyak tanah sudah tidak ada lagi di pasaran. Seharusnya Pertamina fair, ada gas ya ada juga minyak tanah. Jadi, masyarakat bisa memilih,” kata Firdaus.
Ketidaksiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang ada di Pertamina, menurut Firdaus, berbanding lurus dengan kemampuan masyarakat bawah dalam memahami program tersebut. Imbasnya, di lapangan banyak terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Sudah berapa banyak peristiwa ledakan tabung gas 3 kg yang mengakibatkan kebakaran besar dan menghilangkan nyawa warga. Belum lagi sering terhambatnya distribusi elpiji ke daerah yang telah dikonversi yang membuat aktivitas masyarakat tertunda,” ungkapnya, sembari meminta Pertamina lebih tanggap lagi terhadap persoalan ini. (yat)
Menurut Ketua DPD II Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Sumbagsel Djunaidi Ramli, setidaknya dibutuhkan sosialisasi empat hingga lima tahun sebelum suatu program yang berlaku nasional dijalankan.
“Ini agar masyarakat yang menjadi sasaran program tersebut benar-benar paham dan mengerti maksud dan tujuan yang hendak dicapai. Selain itu, waktu sosialisasi di perlukan agar leading sector program berbenah dan menyiapkan sarana dan prasarana pendukung sehingga ketika program dijalankan tidak ada lagi kendala yang menghadang,” bebernya.
Menurut Djunaidi, singkatnya persiapan konversi ini membuat Pertamina selaku pihak pelaksana kesulitan mendapatkan tabung gas elpiji 3 kg. Ketidakmampuan para produsen dalam negeri memproduksi tabung seperti yang diminta Pertamina sehingga tabung ini harus didatangkan dari luar negeri alias mengimpor, kian memperpanjang daftar ketidaksiapan pemerintah terhadap program ini. Padahal, secara kualitas tabung gas impor tersebut masih diragukan.
Komentar lebih pedas datang dari Ketua Umum Migas Watch Sumsel Firdaus Bustomi. Menurut dia, program pemerintah ini justru menyengsarakan dan bukan menyejahterakan masyarakat.
“Masyarakat menggunakan gas karena minyak tanah sudah tidak ada lagi di pasaran. Seharusnya Pertamina fair, ada gas ya ada juga minyak tanah. Jadi, masyarakat bisa memilih,” kata Firdaus.
Ketidaksiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang ada di Pertamina, menurut Firdaus, berbanding lurus dengan kemampuan masyarakat bawah dalam memahami program tersebut. Imbasnya, di lapangan banyak terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Sudah berapa banyak peristiwa ledakan tabung gas 3 kg yang mengakibatkan kebakaran besar dan menghilangkan nyawa warga. Belum lagi sering terhambatnya distribusi elpiji ke daerah yang telah dikonversi yang membuat aktivitas masyarakat tertunda,” ungkapnya, sembari meminta Pertamina lebih tanggap lagi terhadap persoalan ini. (yat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar