
Setidaknya, ini berlaku bagi Rudi Hartoyo yang mulai membuka warung kopi pinggiran sejak tahun 1997 di Jalan Letkol Iskandar. Warung Pinggiran ini setiap hari selalu ramai dikunjungi para pembeli. Bahkan tak jarang para calon pembeli antri untuk membeli daganganya.
“Mereka tak hanya berasal dari masyarakat sekitar kawasan ini. Karyawan dari Matahari IP, karyawan counter HP, para mahasiswa, bahkan PNS seperti guru-guru serta staff kejaksaan pun sering mampir ke tempat ini,” kata Rudi.
Selain menjual mie goreng sebagai menu utamanya, warung kopi Rudi juga menyediakan makanan dan minuman ringan. Seperti kopi, kopi susu, teh, es teh, es jeruk,telur setengah matang, pempek dan bakwan. Harganya pun murah meriah. Secangkir kopi ukuran kecil dijual seharga Rp1000, kopi susu Rp2000, teh ukuran kecil Rp500, ukuran sedang Rp1000 dan Rp2000 untuk gelas besar. Es jeruk Rp2500, es teh Rp2000, telur setengah matang Rp3500 dua buah, pempek serta bakwan Rp.500 satu buahnya. Sedangkan menu utama mie goreng satu porsinya dijual seharga Rp3500 tanpa telur dan Rp5000 dengan telur.
Warung kopi pinggiran milik Rudi ini mulai buka sejak pukul 5 sore hingga 1 dinihari setiap harinya. Khusus hari minggu, Rudi memilih untuk tidak berjualan.
“Hari minggu biasanya saya pergunakan untuk keluarga dan anak-anak, sembari beristirahat serta mempersiapkan segala sesuatunya buat jualan hari berikutnya. Namun pada hari-hari besar maupun bulan puasa saya tetap berjualan seperti biasa,” terang bapak dari dua orang anak ini.
Berawal dari jamu
Sebenarnya, warung kopi pinggiran yang digelutinya ini merupakan warisan dari orang tuanya yang mulai berjualan sejak tahun 1980-an. Sebelumnya, awal tahun 1950-an orangtuanya berjualan jamu. Namun, seiring gencarnya pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dan perkantoran dilahan tempat berniaga, ditambah ketatnya persaingan usaha sejenis, dagangannya pun beralih bentuk. Berjualan jamu ditinggalkan, dan sebagai gantinya membuka usaha warung pinggiran sejak 1997, seiring dengan makin menurunnya kesehatan orang tua Rudi karena faktor usia.
“Modal awalnya sekitar 7 juta rupiah, termasuk pembuatan gerobak dan pembelian bahan-bahan baku serta peralatan lainnya. Alhamdulillah, keuntungan bersih yang saya dapat cukup memadai. Sekitar 200 hingga 300 ribu rupiah setiap harinya,” papar putra bungsu dari enam bersaudara ini.
Dengan keuntungan sebesar itu, Rudi yang pernah mengenyam pendidikan Diploma Satu (D1) otomotif serta sempat pula mengajar selama beberapa tahun di Perguruan Tinggi Widya Dharma ini, mengaku dapat menyisihkan sebagian keuntungan yang didapat untuk keperluan lain.
“Sebagian saya tabung untuk keperluan hari tua. Sebagian lagi digunakan untuk keperluan rumah tangga dan biaya anak-anak sekolah,” terangnya.
Rudi tak punya pilihan lain manakala suatu saat nanti harus berhadapan bahkan tersingkir dari tempat berjualannya . Ia sadar, mencari nafkah dengan berjualan di jalan tertentu meskipun pada waktu malam hari mungkin saja beresiko. Misalnya, keamanan dan kebersihan atau bahkan di bongkar oleh Pemerintah Kota dengan aparatnya, Polisi Pamong Praja (Pol PP).
“Hingga saat ini, alhamdulillah tak ada masalah keamanan di tempat saya, tapi saya berharap pemerintah Kota Palembang lebih memperhatikan nasib para pedagang kaki lima seperti kami. Dengan memberikan kebebasan kepada kami untuk berjualan. Kami juga sadar dan berusaha untuk tetap menaati peraturan seperti menjaga kebersihan dan ketertiban, serta tidak berjualan di bahu jalan,” jelas Rudi. (yat)
caption : Rudi Hartoyo tetap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar