Siapa yang tidak kenal Jakabaring? Berkunjung ke Palembang, tanpa mengitari kawasan Jakabaring serasa belum lengkap, mengingat daya magnetnya yang luar biasa. Coba saja!
Jakabaring, sebuah kawasan yang terletak di daerah Seberang Ulu, Kota Palembang - Sumatera Selatan ini mulai menjadi pembicaraan khalayak, saat Sumsel menggelar hajatan besar sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) ke VXI.
Pasalnya, berbagai sarana dan prasarana untuk menunjang kesuksesan pelaksanaan PON ini mulai bertumbuh. Jakabaring telah menjelma menjadi kawasan yang "metropolis".
Mulai dari perumahan atlet, venue-venue, hingga pembangunan kompleks Stadion Gelora Sriwijaya yang berstandar internasional, semuanya tersedia. Di kompleks ini, selain ada stadion utama, juga terdapat dua Gedung Olahraga (GOR) Tipe A untuk arena senam, kemudian GOR Tipe B untuk pertandingan bulutangkis. Kemudian arena untuk squash, panjat tebing, panahan, serta lapangan baseball dan softball.
Selain itu, tak lebih satu kilometer dari kompleks ini, dibangun kawasan perumahan dengan 1.000 unit rumah dan kawasan budaya yang berupa beberapa bangunan untuk pentas kesenian, serta pameran-pameran. Selama perhelatan PON perumahan ini dipakai sebagai perkampungan atlet, mirip dengan kompleks Senayan, Jakarta. Setelah PON, perumahan ini menjadi permukiman, karena konsep kawasannya berupa real estate.
Singkatnya, Jakabaring telah "disulap" menjadi kawasan yang modern, kontras sekali dengan kondisi Jakabaring tempo dulu. Jakabaring kala itu dikenal sebagai kawasan antah berantah, rawan kriminalitas serta tak tersentuh pembangunan. Saking tidak terjamah oleh geliat pembangunan, Jakabaring bahkan pernah dijuluki sebagai tempat "Jin Membuang Anak".
Kini, Jakabaring mulai menggeliat. Jakabaring seakan menjadi antitesis bagi wacana yang menganggap ada perbedaan perlakuan dalam pembangunan antara kawasan di Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Di kawasan ini telah dibangun Gedung Islamic Centre, Masjid Agung di simpang empat, terminal dan pasar induk, serta direncanakan pembangunan Jembatan Musi 3 yang akan menjadi penyangga transportasi.
Khusus untuk Jembatan Musi 3, masyarakat Seberang Ulu I Palembang telah menyatakan dukungannya. Ini tentu semakin membuat pemerintah bersemangat untuk mewujudkannya, karena dukungan dari masyarakat sangat besar artinya dalam sebuah pelaksanaan pembangunan.
Hampir semua kantor sudah berada di kawasan Jakabaring. Seperti Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Poltabes Palembang, Graha Teknologi, serta yang teranyar yakni pembangunan gedung DPRD Kota Palembang yang menelan dana APBD Senilai Rp 42 miliar yang direncanakan rampung November 2008 mendatang.
Sejarah Jakabaring
Jakabaring adalah sebuah singkatan dari warga pendatang yang membentuk satu komunitas di kawasan Seberang Ulu antara 8 Ulu Bungaran dan Silaberanti.
Nama Jakabaring sendiri tidak bisa dilepaskan dari sosok Sersan Mayor Inf Tjik Umar, anggota TNI yang pernah bertugas di Kodam II Sriwijaya. Tjik Umar lah turut andil dalam penentuan nama Jakabaring. Dia adalah warga Lampung yang membangun rumah di dalam hutan belukar berawa-rawa dibelakang Markas Poltabes Palembang sekarang. Saat ini Tjik Umar (71) sudah pensiun dan tinggal bersama isteri keduanya di Jalan Ki Merogan Lorong Mawar Kertapati Palembang.
Tjik Umar menuturkan, pemberian nama Jakabaring adalah hasil pemikiran dirinya sendiri. Ketika itu, Tahun 1972 pemerintah menggusur pemukiman warga di kawasan 7 dan 8 Ulu, karena terkena proyek pengembangan kawasan Jembatan Ampera. Tjik Umar pada tahun itu masuk Jakabaring, Saat itu kawasan Jakabaring masih hutan belukar dan berawa. Ia langsung membangun rumah dengan menimbun rawa. Sampai sekarang rumah itu masih lengkap.
Setelah isterinya meninggal, Tjik Umar menikah lagi dan membiarkan rumahnya didiami mertua, anak serta cucu-cucunya. Sedangkan dia pindah ke Kertapati bersama isteri keduanya. Pada 1972 juga, dirinya diangkat sebagai Ketua RT 14, Kelurahan 8 Ulu.
Sebagai Ketua RT, dia menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, bahkan hingga jumlah warganya mencapai 460 KK. Tjik Umar cukup disegani dan dihormati di kawasan Jakabaring.
Tjik Umar melakukan penelitian dan mendapati asal warga di sana ada dari Jawa, Batak (Sumut), Kaba (Lekipali), Komering Ilir, Komering Ulu dan Lampung. Kebetulan, lanjut H Umar warga di sana ada namanya Suparto asal Jawa disingkatnya menjadi JA. Ada pula Drs Zulkipli, asal Kaba (Lekipali) disingkat KA. Ada warga namanya A Kadir Siregar asal Batak Sumut disingkat BA, dan Ali Karto (Purn TNI AD) asal Komering Ilir serta Kamaluddin (Purn TNI) asal Komering Ulu, disingkat RING. Maka diperoleh singkatan JA, KA, BA, Ring lalu digabung menjadi JAKABARING.
Hari jadi tebentuknya kawasan Jakabaring ditetapkan tanggal 26 April 1972. Harapan Tjik Umar bahwa daerah ini akan berkembang sekarang hampir menjadi kenyataan.
(yat/dari berbagai sumber)
Jakabaring, sebuah kawasan yang terletak di daerah Seberang Ulu, Kota Palembang - Sumatera Selatan ini mulai menjadi pembicaraan khalayak, saat Sumsel menggelar hajatan besar sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) ke VXI.
Pasalnya, berbagai sarana dan prasarana untuk menunjang kesuksesan pelaksanaan PON ini mulai bertumbuh. Jakabaring telah menjelma menjadi kawasan yang "metropolis".
Mulai dari perumahan atlet, venue-venue, hingga pembangunan kompleks Stadion Gelora Sriwijaya yang berstandar internasional, semuanya tersedia. Di kompleks ini, selain ada stadion utama, juga terdapat dua Gedung Olahraga (GOR) Tipe A untuk arena senam, kemudian GOR Tipe B untuk pertandingan bulutangkis. Kemudian arena untuk squash, panjat tebing, panahan, serta lapangan baseball dan softball.
Selain itu, tak lebih satu kilometer dari kompleks ini, dibangun kawasan perumahan dengan 1.000 unit rumah dan kawasan budaya yang berupa beberapa bangunan untuk pentas kesenian, serta pameran-pameran. Selama perhelatan PON perumahan ini dipakai sebagai perkampungan atlet, mirip dengan kompleks Senayan, Jakarta. Setelah PON, perumahan ini menjadi permukiman, karena konsep kawasannya berupa real estate.
Singkatnya, Jakabaring telah "disulap" menjadi kawasan yang modern, kontras sekali dengan kondisi Jakabaring tempo dulu. Jakabaring kala itu dikenal sebagai kawasan antah berantah, rawan kriminalitas serta tak tersentuh pembangunan. Saking tidak terjamah oleh geliat pembangunan, Jakabaring bahkan pernah dijuluki sebagai tempat "Jin Membuang Anak".
Kini, Jakabaring mulai menggeliat. Jakabaring seakan menjadi antitesis bagi wacana yang menganggap ada perbedaan perlakuan dalam pembangunan antara kawasan di Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Di kawasan ini telah dibangun Gedung Islamic Centre, Masjid Agung di simpang empat, terminal dan pasar induk, serta direncanakan pembangunan Jembatan Musi 3 yang akan menjadi penyangga transportasi.
Khusus untuk Jembatan Musi 3, masyarakat Seberang Ulu I Palembang telah menyatakan dukungannya. Ini tentu semakin membuat pemerintah bersemangat untuk mewujudkannya, karena dukungan dari masyarakat sangat besar artinya dalam sebuah pelaksanaan pembangunan.
Hampir semua kantor sudah berada di kawasan Jakabaring. Seperti Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Poltabes Palembang, Graha Teknologi, serta yang teranyar yakni pembangunan gedung DPRD Kota Palembang yang menelan dana APBD Senilai Rp 42 miliar yang direncanakan rampung November 2008 mendatang.
Sejarah Jakabaring
Jakabaring adalah sebuah singkatan dari warga pendatang yang membentuk satu komunitas di kawasan Seberang Ulu antara 8 Ulu Bungaran dan Silaberanti.
Nama Jakabaring sendiri tidak bisa dilepaskan dari sosok Sersan Mayor Inf Tjik Umar, anggota TNI yang pernah bertugas di Kodam II Sriwijaya. Tjik Umar lah turut andil dalam penentuan nama Jakabaring. Dia adalah warga Lampung yang membangun rumah di dalam hutan belukar berawa-rawa dibelakang Markas Poltabes Palembang sekarang. Saat ini Tjik Umar (71) sudah pensiun dan tinggal bersama isteri keduanya di Jalan Ki Merogan Lorong Mawar Kertapati Palembang.
Tjik Umar menuturkan, pemberian nama Jakabaring adalah hasil pemikiran dirinya sendiri. Ketika itu, Tahun 1972 pemerintah menggusur pemukiman warga di kawasan 7 dan 8 Ulu, karena terkena proyek pengembangan kawasan Jembatan Ampera. Tjik Umar pada tahun itu masuk Jakabaring, Saat itu kawasan Jakabaring masih hutan belukar dan berawa. Ia langsung membangun rumah dengan menimbun rawa. Sampai sekarang rumah itu masih lengkap.
Setelah isterinya meninggal, Tjik Umar menikah lagi dan membiarkan rumahnya didiami mertua, anak serta cucu-cucunya. Sedangkan dia pindah ke Kertapati bersama isteri keduanya. Pada 1972 juga, dirinya diangkat sebagai Ketua RT 14, Kelurahan 8 Ulu.
Sebagai Ketua RT, dia menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, bahkan hingga jumlah warganya mencapai 460 KK. Tjik Umar cukup disegani dan dihormati di kawasan Jakabaring.
Tjik Umar melakukan penelitian dan mendapati asal warga di sana ada dari Jawa, Batak (Sumut), Kaba (Lekipali), Komering Ilir, Komering Ulu dan Lampung. Kebetulan, lanjut H Umar warga di sana ada namanya Suparto asal Jawa disingkatnya menjadi JA. Ada pula Drs Zulkipli, asal Kaba (Lekipali) disingkat KA. Ada warga namanya A Kadir Siregar asal Batak Sumut disingkat BA, dan Ali Karto (Purn TNI AD) asal Komering Ilir serta Kamaluddin (Purn TNI) asal Komering Ulu, disingkat RING. Maka diperoleh singkatan JA, KA, BA, Ring lalu digabung menjadi JAKABARING.
Hari jadi tebentuknya kawasan Jakabaring ditetapkan tanggal 26 April 1972. Harapan Tjik Umar bahwa daerah ini akan berkembang sekarang hampir menjadi kenyataan.
(yat/dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar