thanks for visiting my site

Kamis, Oktober 30, 2008

Indonesia Today : Hari-hari Penuh Eksekusi (Uneg-uneg Soal Keadilan)

Beberapa hari terakhir, sejumlah media massa di tanah air, baik cetak maupun elektronik ramai memberitakan tentang pelaksanaan hukuman (eksekusi) mati para pelaku tindak kejahatan berat, pembunuhan-berencana.


Puncaknya adalah pagi tadi, Sabtu (19/7/08). Beberapa pelaku tindak pidana telah di eksekusi mati oleh pihak berwenang. Diantaranya Sumiarsih, Sugeng dan Tubagus Yusuf Mulyana alias Usep.

Sumiarsih dan Sugeng adalah pelaku pembunuhan berencana atas Letkol Purwanto beserta keluarganya di Sidoarjo, Jawa Timur, 20 tahun silam. Sementara Usep (dukun Usep Padeglang), merupakan pelaku pembunuhan terhadap 8 orang “pasiennya” di Banten.

Para pelaku dieksekusi mati setelah segala upaya hukum yang mereka tempuh (banding, kasasi, peninjauan kembali) ditolak oleh Mahkamah Agung RI. Begitu juga dengan hak mendapatkan grasi dan amnesti dari presiden, semuanya menemui jalan buntu.

Menyimak semua prosesi jelang pelaksaan hukuman mati bagi para pelaku pembunuhan tersebut membuat penulis, jujur, sangat jujur bahkan, terhenyak. Di benak ini timbul pertanyaan, mengapa eksekusi mati ini begitu “wah”. Begitu banyak aparat keamanan yang dikerahkan untuk “mengamankan” pelaksanaan eksekusi mati ini. Sedikitnya 6 buah kendaraan (klo gak salah) yang dilibatkan dalam pelaksanaan eksekusi ini. Itu baru untuk satu orang terpidana mati. Bagaimana bila banyak, (pasti mobil rental akan laku keras!).

Tapi sudahlah, penulis kemudian berpikir, itu mungkin sudah aturan “baku” dan prosedur tetap pihak eksekutor di republik ini. Justru, yang menjadi pikiran penulis-dan ini lebih penting- adalah, mengapa hukuman mati di negara terkorup nomor 3 di dunia setelah Ethiopia dan India ini masih diberlakukan. Tidak cukupkah para pelaku diberikan hukuman seumur hidup? Hukuman seumur hidup diyakini (setidaknya dalam pemahaman awam penulis) akan memberikan efek jera dan psikologis yang dahsyat bagi pelaku pembunuhan maupun pelaku tindakan kriminal berat lainnya. Begitu juga dampak bagi keluarga.

Penulis sengaja tidak membawakan referensi hukum dalam membuat uneg-uneg (namanya juga uneg-uneg, ditambah penulis juga kurang paham soal hukum di republik ini, habis kompleks banget sih!).
Tapi penulis (selanjutnya disebut aku) tidak juga menegasikan beban moral dari para keluarga korban yang ditinggalkan. Sudah pasti rasa kehilangan apalagi dengan cara yang tidak nyaman pasti akan terus membekas dihati dan benak mereka. Kendati demikian, aku tidak akan menyoroti keluarga pelaku dan keluarga korban lebih jauh lagi. Cukup sampai disini.

Aku hanya memimpikan Indonesia menjadi sebuah negeri yang berlaku adil. Bukan apa-apa. Sudah menjadi anggapan umum (aku kurang sepakat dengan pemakaian istilah rahasia umum. Soalnya klo rahasia pribadi ya boleh disimpan oleh yang bersangkutan. Tapi klo rahasia umum, buat apalagi dirahasiakan, orang satu kampung pasti sudah tahu semua, apalagi yang menyangkut kemaslahatan publik) bahwa Indonesia adalah sebuah negeri yang masyarakatnya (masyarakat yang mana?) terkesan munafik (hipokrit).

Kemunafikan itu, salah satu indikasinya, terefleksi dari lemahnya penegakan sistem hukum (law enforcement system) di negeri ini. Bila pelaku tindak kejahatan ringan (dalam beberapa kasus, seperti mencuri ayam karena kelaparan setelah segala upaya dioptimalkan untuk mendapatkan sesuap nasi tidak kunjung berhasil?) pelaku langsung ditahan dan kadangkala mengalami penyiksaan terlebih dahulu (dimassa-kan). Proses persidangan hingga penetapan keputusan begitu singkatnya digelar. (upps! Si pencuri ayam tadi sudah dikirim ke Hotel Prodeo).

Namun, untuk kejahatan yang sejatinya memberikan efek global bagi tatanan sistem hukum dan cara pandang masyarakat, pada gilirannya cara bersikap, seperti kejahatan korupsi (korupsi termasuk kejahatan gak sih di Indonesia?), proses penanganannya begitu bertele-tele dan terkesan birokratif.

Apalagi bila tesangka kasus korupsi itu seorang pejabat publik maupun orang-orang berpengaruh, akan banyak penundaan sidang dan sidang-sidang lanjutan (biasanya alasan kemanusiaan selalu dikedepankan, seperti tersangka sedang sakit-perlu perawatan-tidak memungkinkan untuk dihadirkan di kursi pesakitan hingga penghilangan barang bukti- baca : Sydney Sheldon, Rages of Angel/Malaikat Keadilan) dan seabreg alasan lainnya.

“Asas praduga tak bersalah harus dikedepankan. Kita ini negara hukum dan hukum adalah landasan yang harus kita junjung tinggi,” begitulah kira-kira ungkapan yang hampir berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali kita dengar dari para penegak hukum (apalagi pengacara tersangka kasus korupsi!).

Dari hasil diskusi dengan kawan-kawan Mahasiswa Fakultas Ekonomi, khususnya dari Organisasi Forum Kajian Sosial (FKS), dan mahasiswa Hukum Universitas Sriwijaya 7 tahun silam, dengan topik Pengacara dan Upaya Menjaga Moral Bangsa, kami berkesimpulan bahwa yang namanya pengacara itu tugasnya hanyalah mendampingi, memberikan pembelaan hukum, serta mengusahakan peringanan hukuman bagi clientnya bila sudah terbukti dinyatakan bersalah (tentunya dilengkapi dengan sejumlah bukti-bukti penguat). Jadi tidak ngotot dan membela mati-matian terdakwa agar dilepaskan.

Dan biasanya pula, secara moral, di negara-negara western, setelah tersangka ditahan, sang pengacara yang dimintai bantuan hukum oleh tersangka maupun ditunjuk oleh negara atas ketidakmampuan tersangka membayar pangacara, akan mengajak clientnya berbicara dari hati ke hati. Sang pengacara meminta dengan takzim agar clientnya berterus terang bahwa apabila dia benar-benar melakukan perbuatan seperti yang dilaporkan, maka pengacara akan melakukan upaya peringanan hukuman dengan melihat sebab-sebab penguat yang melandasi perbuatan tersebut. Jadi, sekali lagi, tidak menutup mata atas realitas. Tapi ini juga membutuhkan kejujuran (bukan kemunafikan) dari sang client.

“Ini yang repot. Mayoritas orang tidak mau dinyatakan bersalah kemudian ditahan karena akan memberikan dampak negatif tidak hanya kepada dirinya, tapi juga kepada orang-orang terdekat serta relasi bisnisnya. Padahal, bila dia benar-benar “berpikir” bersalah, kemudian ia mengaku, akan ada reward moral dari masyarakat dan perhitungan dari Sang Pencipta. Ini yang hilang dari masyarakat kita, kejujuran dan perasan selalu di awasi oleh Penciptanya,” seorang teman dari fakultas ekonomi menganalisis.

Dia menambahkan, ”Di satu sisi, pengacara pun membiarkan tersangka bergelimang dengan dosanya karena motif tertentu. Seperti motif imbalan finansial yang besar bila berhasil membebaskan tersangka sebebas-bebasnya dari segala tuduhan. Maupun motif karena vested interest (kepentingan sesaat) dan prestise si pengacara yang terlanjur mempunyai reputasi yang handal. Jadi, sekali lagi, dalam konteks penegakan hukum, kejujuran yang hilang dari masyarakat kita. Kejujuran berbagai pihak termasuk juga hakim dan jaksa.”

Apa kaitan antara pelaku pembunuhan berencana seperti pengantar tulisan di awal dengan pelaku korupsi dan penggiat sistem hukum? Benang merah yang mungkin bisa disimpulkan adalah pemerintah tidak seharusnya “melupakan” masalah penegakan sistem hukum.

Bagaimanapun hukum harus ditegakkan. Bukan hanya pada pelaku kejahatan kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan maupun pencurian. Tapi hukum harus ditegakkan, bahkan lebih diutamakan, pada pelaku korupsi di negeri ini tanpa pandang bulu. Mengingat dampaknya yang sangat luarbiasa pada tatanan kehidupan bermasyarakat. Bahkan tatanan berbangsa dan bernegara.

Miliran bahkan triliunan uang negara-rakyat yang dijarah oleh para pelaku korupsi. Dan mirisnya, sampai hari ini semua pelaku belum ada yang terjamah hukum. Mereka bahkan masih bisa menghirup udara segar (sebagian dari mereka bisa mondar-mandir ke luar negeri). Kalaupun ada, itu pun belum menyentuh “kelas kakapnya”

Mengutip sebuah hadist dari Rasullullah Muhammad SAW, beliau menyatakan, “Yang menyuap dan yang disuap sama-sama di dalam neraka”

Apa bedanya menyuap dan disuap dengan pelaku korupsi dan penerima jatah uang korupsi? Semuanya merupakan perbuatan tercela yang mendapat balasan menyakitkan, ditempatkan di dalam neraka.

Rasulullah Muhammad SAW memahami secara komprehensif bahwa suap/sogok/korupsi atau apapun namanya, merupakan antiklimask dari pembentukan karakter dan jati diri individu maupun kelompok, negara-bangsa dalam suatu peradaban. Tak heran, dimasa beliau maupun setelahnya, langka ditemui kasus penyalahgunaan uang umat tersebut.

Atau, okelah kalau kita tidak mau membicarakan soal neraka maupun surga. Yang pasti pelaku korupsi dan kroni-kroni-nya, jika masih memiliki moralitas yang tinggi, (kejujuran), pasti tak korupsi karena akan merasakan “bagai di neraka”.

Cina dan Iran merupakan contoh terbaik dalam hal ini. Di Cina, pemerintah setempat tidak akan berkompromi bila ada warga, terlebih lagi pejabat pemerintahan, melakukan tindak pidana korupsi. Hukuman mati merupakan harga mati bila ternyata terbukti. Begitu juga di Iran. Negeri para mullah ini maju karena sistem penegakan hukum yang dibangun benar-benar diterapkan. Setali tiga uang dengan Cina dan Iran adalah Jepang. Alih-alih melakukan korupsi, jika ada pejabat yang karena kelalaiannya menyebabkan kenyamanan publik terganggu (seperti kasus kecelakaan kereta api beberapa waktu lalu) maka sang pejabat dengan gentleman akan mengakui kesalahannya dan “menghukum diri sendiri” dengan mengundurkan diri dari jabatannya. (Apatah lagi bila di negeri matahari terbit ini pejabatnya melakukan korupsi, mungkin akan terjadi fenomena harakiri sebagai sebuah bentuk kesadaran akan hukum secara umum).

Di negara tercinta ini sebaliknya. Atas nama hukum mereka berani menciderai hukum dan bahkan sistem hukum itu sendiri. Sampai-sampai seorang teman aku pernah berujar, “Sudahlah, hukum di Indonesia ini dibuat untuk dilanggar.” Terdengar skeptis memang. Tapi ini bukan akhir dari segala-galanya. Indonesia belum kiamat.

Masih ada harapan untuk mengembalikan harkat dan martabat bangsa ini asalkan semua komponen anak bangsa menyadari pentingnya penegakan hukum ini dengan pemberantasan korupsi sebagai titik awalnya. Mengharapkan Komis Pemberantasan Korupsi (KPK)-konon kabarnya KPK era struktur baru sekarang lebih garang dari yang sebelumnya (tapi kenapa rapat dengan wakil rakyat tempo hari digelar secara tertutup pak?)- sebagai aktor tunggal pemberantasan korupsi tidaklah cukup. Perlu, sekali lagi, kesadaran semua pihak untuk memberantas korupsi, bukan cuma menyatakan.

Dan ini bisa dimulai dari penyadaran sekaligus pendidikan moral di dalam diri individu, keluarga maupun masyarakat. Kepada pemerintah dan penegak hukum, bersikap adil, arif dan konsistenlah dalam menegakkan hukum ini. Teruskanlah proses pemberantasan korupsi ini tanpa pengecualian. Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang mulia. Semua ini demi kita juga, rakyat Indoensia.


Tidak ada komentar: